Pengulas : Nassury Ibrahim
Walaupun Rachmat Djoko Pradopo menulis sajak sejak tahun 1960-an, namun beliau dikenali dalam bidang kritikan. Buku Mitos Kentut Semar (MKS - Julai 2006) terbitan Poetindo + Pustaka Pelajar ini merupakan kumpulan sajak keempat selepas Matahari Pagi di Tanah Air (1967), Hutan Bunga (1993) dan Aubeda (1999).
Manakala buku kritikan beliau yang telah diterbitkan ialah Bahasa Puisi Penyair Utama Indonesia Modern (1985), Pengkajian Puisi (1987 / 2005), Prinsip-Prinsip Kritikan Sastera (1988), Beberapa Teori dan Metode Kritikan Sastera (1995) dan Kritik Sastera Indonesia Modern (2003).
Secara keseluruhan sajak-sajak dalam MKS setebal 156 halaman ini bersifat prosaik. Ungkapan kata-katanya secara langsung dan mudah difahami. Pengarang sendiri mengakui bahawa sajak-sajaknya bersifat polos, terus-terang, tidak berbelit-belit dan tidak kabur. Sifat polos itu disebabkan pengarang berharap mesej sajak diterima oleh semua golongan masyarakat tanpa mengira pangkat dan pendidikan.
Misalnya, pada petikan baris-baris sajak berjudul ‘Manusia, Kucing dan Anjing’ ini: andaikan manusia tahu / surga tak ada neraka tak ada / mereka tak pernah merepotkan bertanya / nyawa akan ke mana / sesudah tubuhnya mati tak hidup lagi / tak ada apa-apa lagi.
Selain sikap dan idealisme pengarang, sifat polos sajak-sajak Rachmat berkait langsung dengan permasalahan masyarakatnya, yang juga polos. Menurut Rachmat, wajah masyarakat Indonesia yang tidak berubah sejak dahulu hingga kini. Mereka sentiasa dibelenggu kemiskinan, pengungsian, pengangguran, penindasan dan kesusahan hidup.
Hal ini dapat diperhatikan pada baris sajak berjudul ‘Mereka Bekerja, Aku Tidak.’ Katanya: aku cuma bergelandangan dari jalan ke jalan / kerana dari berjuta penganggur, akulah seorang / di atas tanah air subur makmur termasyhur / akulah seorang seorang tak kebagian kerja dari berjuta / akulah seorang yang di palang pintu / sebelum tangan mengetuk, punggung membungkuk / kepala menunduk melamar kerja.
Gambaran wajah kemiskinan dan kesusahan hidup pada tahun 1966 itu berlarutan sehingga 2000-an, yang digambarankan dalam sajak berjudul ‘Zawawi Imron’, yang setiap kali ke laut mendapat ikan teri sahaja.
Berbanding sebelumnya, sajak-sajak Rachmat dekad 2000-an merakam wajah masyarakat Indonesia secara realisme subjektif. Jika sebelumnya Rachmat mengungkapkan perihal masyarakat secara umum, kini sajaknya menyentuh watak-watak hidup semasa dan publik figura secara langsung.
Ada tiga jenis watak-watak hidup yang gemar disajakan. Pertama, para penyair yang sekali gus menjadi sahabatnya seperti Zawawi Imron, Umbu Landu Paranggi, Asrul Sani dan Emha Ainun Najib. Kedua, artis dan publik figura seperti Inul Daratista, Gina Sonia dan tokoh-tokoh pemimpin. Dan ketiga, tokoh pujaan seperti nenek, kekasih dan sebagainya.
Dalam sajak berjudul ‘Zawawi Imron’ dan sajak ‘Ada Rahang, Ada Tangan dan Mata,’ Rachmat mengungkapkan kesusahan hidup penyair, sebagaimana gambaran dalam sajak berjudul ‘Zawawi Imron.”
Dalam sajak tentang Inul Daratista, Rachmat mencatatkan: Pantat Inul, kata Emha Ainun Najib / adalah wajah Indonesia / pantat Inul yang ngebor gidal-gidul / membikin para ulama gusar dan onar / kerena moralnya dirusak pantat Inul / yang ngegol, ngebor, dan minul-minul.
Satu hal yang ketara dalam sajak-sajak mutakhir Rachmat ialah imej Kentut. Menurut Kamus Dewan (2002: 637) maksud kentut ialah pertama, angin yang keluar dari pelepasan; dan kedua, sejenis tumbuhan bernama sekentut. Daripada dua makna tersebut, sajak-sajak Rachmat dalam MKS menjurus kepada makna pertama.
Mengambil kira catatan Rachmat bahawa masalah dan wajah masyarakat Indonesia tidak berubah dari dahulu hingga sekarang, bermakna maksud kentut dalam sajak-sajaknya adalah kiasan perihal kebusukan, kenajisan, kekotoran dan imej buruk sesetengah masyarakat Indonesia kesan daripada amalan kehidupan harian mereka.
Dalam sajak ‘Zawawi Imron’, ‘Pantat Inul Daratista’, ‘Kentut Semar’, ‘Kentut’, dan ‘Inul Daratista’ jelas kesan kentut yang menyebabkan rezeki hilang, berlaku kematian, kesesiaan usaha dan keruntuhan moral masyarakat.
Walaupun terdapat istilah ‘kentut’, namun moral yang disampaikan adalah positif, bermanfaat diteladani dan santai. Membaca sajak-sajak Rachmat dalam MKS terasa kelucuan dan sinisme. Sekian.