BERSILA DI BERANDA WAKTU
Pendekar
(buat anakku)
Perlahan-lahan dia 
membuka langkah mengangkat tangan 
kemudian menari rentak perwira 
sebentar dia berada di kiri 
sebentar dia berada di kanan 
telinga dan matanya di gerak lawan 
dia tahu dia mesti hati-hati 
berdepan dengan lawan 
dia tahu dia mesti hati-hati 
meski di luar gelanggang 
dengan gerak tari dia lepas pukulan 
dengan gerak tari dia tumpas lawan 
demikian hidup 
kita adalah pendekar 
berlawan dengan waktu 
mencari hidup beriktiraf. 
1989                                 
Mei 
(mengenang rn dan deb)
Ada sepohon rukun tumbuh 
di atas selonggok darah 
ada tugu cinta teguh
di atas timbunan duka 
di bawahnya kami mengukir cinta 
di bawahnya kami mengukir setia 
kami bersembunyi di bawahnya 
daripada panahan awan dan matahari 
kami berdiri di atasnya 
menahan panahan nafsu dan seteru 
ada serumpun insaf tumbuh
di atas darah dan duka sejarah.
Mei 1989                            
O. T. Dussek
Engkau penjajah berapikan merdeka 
api mencucuh semangat SITC 
Kenapa di kalangan orang-orang  Melayu 
tidak ada pemimpin yang benar-benar 
berusaha memimpin bangsanya? 
apimu menerangi tanah bangsaku 
dari rendah rumput ke tinggi pohon  
Bahasa kamu saya percaya diucapkan oleh 
lebih 70 juta manusia. Ia salah satu dari 
rumpun-rumpun bahasa terbesar di dunia. 
Jangan lupa hakikat itu. Berusahalah 
meninggikan ke taraf yang layak di dunia. 
Bila taraf bahasa kamu tinggi, akan tinggi 
pulalah taraf bangsa kamu. 
Cerah apimu membangkit tidur hati      
Bangun berseru bangsa bersakral diri  
Orang-orang Melayu, bangkitlah. 
Orang-orang Melayu, bangunlah. 
1989                                 
Bersila di Beranda Waktu
Aku bersila di beranda waktu 
menangkap angin petang 
jendela ingatan tiba-tiba terbuka 
terserlah selingkar peristiwa 
seorang aku melintas tiba-tiba 
berlari-lari bersama teman sepermainan: 
Nordin, Nasir, Mamat, Mekyah dan Pinas 
kini menjadi rantai zaman 
menyambung warisan tradisi moyang 
aku memerhati tanah-tanah lapang 
tegak pohon-pohon pengalaman 
kini tanah itu berubah pandangan 
dan pohon-pohon pengalaman 
condong disarati bebanan 
ah, siapakah menjarakkan kita, ingatan? 
dalam musim dewasa ini 
aku hanya mampu menatap kenangan 
pada ingatan tak manis kuulang 
benarlah pada orang berkata 
kuasa terpendam itu lebih berkuasa 
daripada kuasa yang dianugerahkan 
kepada hati, kepada kaki dan tangan kita. 
1990                         
Lelaki di Kaki Batu 
Seorang lelaki 
berjalan mundar-mandir di kaki batu 
akhirnya membatukan diri 
di antara batu-batu hidup 
adalah seorang lelaki 
terbentuk daripada acuan kampung 
mengalir dalam urat diri 
alunan alam dari muzik tradisi 
mencari dan mencari hari kelmarin 
sambil membelek bungkusan pesan 
dari anak tangga terakhir 
sewaktu cengkerik meraung 
dan unggas berkejaran mabuk 
seorang lelaki 
berdiri di kaki batu itu 
berpeluh menahan panahan suria 
menepis terjahan habuk 
dengan tangan terpaksa menerima hakikat 
detik jantung waktu yang semakin sarat 
di hadapannya bukan lagi santau 
atau sumbang silat 
adat dan kepercayaan 
kian terbabas 
daripada alur doa pertama 
diapun berjalan dan berjalan 
langkahnya amat longlai 
mengheret pengalaman kontras 
dia menemui
bangkai-bangkai bernyawa 
memohon hidup 
santapan beradab daging mentah 
jeritan kucing dan sergahan anjing 
mogok seni seorang sasterawan 
bergelumang dalam petak silang kata 
memengertikannya 
bahawa di kota ini 
sedang kemarau kemanusiaan 
bunga-bunga menghadapi krisis 
cahaya merampas tangkainya 
seorang lelaki 
berdiri di kaki batu itu 
tidak pernah ada di kota ini 
adalah seorang aku yang harus hidup 
menjunjung tanggungjawab 
dan membenarkan impian 
generasi. 
1 Februari 1990                   
Mei (i)
Ketika kata jadi hangat 
ketika rasa jadi panas 
ketika kuasa jadi matlamat 
seluruh warga ini 
tiba-tiba tersentak 
disentaki kata yang hangat 
Adam yang ganas 
tiba-tiba seluruh warga ini 
rasa gementar 
digementari Mei yang liar 
minumannya adalah darah 
mujurlah Mei masih lena 
di atas Rukun Negara 
ketika sang politikus bertempur 
berebut piala bangsa 
mujurlah Isa masih berkerja 
mengulik Mei di atas 
buaian perpaduan 
ketika cauvanis bangsa 
bertempur berebut 
piala Parlimen. 
1990                                 
DBKL
Bertahun-tahun kaumerawat kotamu 
kota yang meragut berlingkaran janji 
kota yang menyedut berkerlipan mimpi 
dari kotak ke kotak hidup 
dari petak ke petak kata 
bertahun-tahun kaumengajar kotamu 
mengajar menjinak angin yang liar 
mengajar menjadi warga beriktiraf 
di simpang-simpang jalan 
di simpang-simpang gerak 
bertahun-tahun kaubersilat di kotamu
bak pendekar berlawan dengan waktu 
menepis terjahan habuk 
bak guru menanam pohonan pesan 
memugar kebunan hidup
carilah cari hidup beriktiraf 
isilah isi hidup beriktiraf
bertahun-tahun kaumendidik kotamu
merawat dan menjinak liar watak
namun, warganya masih ...
4 Jun 1990 
Kuala Lumpur (ii)
i
Sebuah kota berdenyut dalam nadiku 
kota menjanjikan seribu ingin 
kota memancarkan seribu mimpi 
bak bulan di langit 
pungguk dan angkasawan berinduan diri 
kota ini menyimpan pelbagai pohon 
pohon berbuah kilauan cahaya 
cahaya menabur bijian sinar 
di bawahnya kami hidup memungut cerah 
kota ini mengumpul pelbagai kaum 
kaum membina seuntas buaian 
buaian terletak di sebuah taman 
di atasnya kami hidup bermain ayunan 
kota ini hidup dari batu-batu sejarah 
merakam ingin demi ingin 
kota ini segar dari pohon-pohon insaf 
membuah mimpi demi mimpi 
ii 
seorang aku berdenyut dalam nadi kota 
kota Raja Abdullah kota Raja Mahadi 
kota Kapitan Hiu Siew kota Yap Ah Loy 
kota merakam pelbagai sejarah di kualanya 
kota menyimpan bijian timah di lumpurnya 
kadangkala kota ini memberi 
seberkas masalah hingga kami jadi lusuh 
seringkali kota ini memberi 
seberkas iktibar hingga kami jadi segar 
iii 
inilah kota Kuala Lumpur 
kota kebanggaan kami.
Teluk Makmur, Dumai
Alangkah damainya malam di Teluk Makmur. 
tidak ada mobil mengganggu langkah hingga 
kaki kelelahan. Tidak ada karbon mencekik 
rasa hingga nafas kesesakan. Dan, suara-
suara nakal dari peragut jiwa tidak ada 
yang membikinkan celaka. 
bayu persis dari Syurga, membelai bagai 
jari perawan: Lembut dan mengasyikan. 
dialah angin malam selat, bersipuh menjentik 
pipi air, dan menghembuskan gelembungan 
buih kekanakanku. 
alangkah damainya malam di Teluk Makmur. 
pada kejauhan nelayan menyuluh rezeki. 
Pertamina berkelip-kelip. Angin bersipi-sipi.
Aku bagai bersantai di Batu Feringgi.
alangkah damainya malam di Teluk Makmur. 
30 Oktober 2004
Penenun Pua 
Usianya dihabiskan buat 
melentur jari tangan
jarinya dihaluskan buat
menyulam benang warisan
begitu lincah 
kenal setiap warna dan corak
dari kepak sayap burung
dan tumbuh-tumbuhan
menjelma pua warisan
indah dan halus
inilah seni kaum Iban
warisan turun-temurun
tak lekang dek panas
tak lapuk dek hujan
indah memancar cinta
halus memancar jiwa
jalinan, warna dan corak
tak terbencikan waktu, 
teknologi dan rasa
separuh mudanya habis
menenun benang pua
separuh kembaraku habis
menikmati seni pua
melihatnya, rasaku 
tak henti-henti berdegup
hatiku tak henti-henti 
memuji-Mu.
31 Oktober 2004 
 Tuhan di Floating Market
Mati waktu dan hari 
tuhan tak berganjak diri
di hadapan ribuan orang tak dikenali
pau dan oreng bersilih ganti 
dengan wajah imaginasi 
tuhan tak berkelip 
pada duduk atau berdiri
di taman-taman rohani 
di indek-indek ekonomi 
mati waktu dan hari
tuhan tak berganjak diri
dijulang atau dipijak manusia 
dikuning atau dihitamkan warna 
hanya manusia 
sekejap membawamu 
ke taman-taman rohani 
sekejap membawamu 
ke indek-indek ekonomi.
mati waktu dan hari 
tuhan tak berganjak diri
20 Disember 2004 
Mengenang Tsunami
Aku tulis sajak ini dengan sayu hati 
sedih maha dalam
betapa sayu dan sedihku
tak dapat mengubati
sayu dan sedihmu
aku tulis sajak ini dengan seberkas insaf
ngeri mencengkam jiwa
pada engkau adalah aku
tak terbendung derita
tak terbendung sengsara
betapa insaf dan ngeriku
tak dapat mengubati
derita dan sengsaramu
aku tulis sajak ini dengan segeram rasa 
marah membuak-buak
engkau dihancurkan tsunami
dihancurkan pencuri-pencuri
betapa geram dan marahku
tak dapat mengubati
geram dan marahmu
aku tulis sajak ini dengan seinsaf sedar
“Ya, Allah, Engkau jauhi kami
betapa kecil pun tsunami-Mu
adalah besar bagi kami.”
30 Disember 2004
Pesanan kepada Anak
(Mengenang isteriku, Noraini Hasan )
Pada hidup kita hanya dua. 
Pertama, Tuhan. Kedua, ibu
Kalau kauingin bersyukur, syukur kepada Tuhan 
Dia menciptamu Dia juga yang mematikanmu 
memberi piala kemenangan di dunia 
memberi piala kemenangan di akhirat 
Dia mengajarmu membaca mengajarmu berfikir 
hingga kau demikian sempurna jadi seorang mursyid
Dia Tuhan Yang Maha Berkuasa 
Tuhan yang menganugerahkan rezeki dan mutiara bahagia 
juga kesusahan jiwa kepada mereka yang mengengkari-Nya
Kalau kauingin berterima kasih, terima kasih kepada ibu 
dia yang mengandungmu dia juga yang membesarkanmu 
dengan lembut sabar dia melayani tangismu siang dan malam 
tidurnya antara jaga membesarkanmu dengan dua teteknya
Dia wanita yang menggadaikan mahkota kesenangan diri 
pada nafasmu hingga nafasmu berdenyut segar 
dan kau sempat bersekolah, bercita-cita dan bercucu
Anak-anakku,
kalau kauingin bersyukur, syukur kepada Tuhan 
kalau kauingin berterima kasih, terima kasih kepada ibu. 
2005
Selat Tebrau
Selat ini, airnya dalam 
tak terjangkau sejarah, cinta, impian 
logik berlegar bendera keselamatan 
hidup semata rezeki di genggaman 
satu ke satu pulau berlepas tangan 
sempadan mengecil menghimpit zaman 
air memangkin demokrasi pilihan 
kebijakan menipu generasi warisan 
anakku tak lagi berperang di bumi 
padang, rimba telah jadi batusi 
mereka ke langit menjujung visimisi 
solarutra menembak satelit 
minyak loji hilang entah ke mana 
dicuri tsunami, lava atau cacing tanah 
besi menjelma pedang, tombak, panah 
bersoljar diri generasi menuntut hak 
selat ini, airnya dalam 
di atas tenang menjulang visi 
di bawah ombak maut menanti. 
27 September 2005
                                       batusi (bangunan)  =  batu  +  besi
Tsunami di Tanah Olee Lee
Hanya sekelip mata. Hanya sekelip mata.
laut menganggakan ombak. ombak 
menelan batu, kayu, manusia.
Hanya sekelip mata. Hanya sekelip mata.
: si kaya jadi miskin; si miskin jadi papa. 
derita tumbuh di mana-mana. Tumbuh di
bawah alur lidah ombak.
Gah negeri pintar manusia; riang diri                                                        
bangga usaha; mesra laut dan pantai. 
dalam sekelip mata - pintar jadi bebal;  
bangga jadi gagal. hanya sekelip mata 
alam bertukar peta: rumah, ombak dan 
kapal beralih duduk.
Hanya sekelip mata: yang jauh bertandang 
duduk; yang dekat berulang tapak; si kaya 
bergilir hulur; si gagah berkongsi tenaga.
Mereka bergotong membasmi: Duka Aceh.
Mau apa ditulis tentang tsunami: ia petaka 
pada yang mati;  peringatan pada yang hidup;
kasih pada yang jauh; iktibar pada yang 
beriman: menambah takwa, menambah takwa.
27 November 2005                      
Di Pantai Puisi
Di pantai puisi mereka datang 
datang dari kampung-kampung akal 
mereka berkumpul dan bermesra: 
ada yang bermesra dengan angin
ada yang bermesra dengan ketam
ada yang bermesra dengan ombak
ada yang bermesra dengan pasir
ada yang bermesra dengan diri
merekalah para penyair
mereka bersyair berpantun bersajak
puisi intelektual bangsa:
ada yang berpuisi tentang angin
ada yang berpuisi tentang ketam
ada yang berpuisi tentang ombak
ada yang berpuisi tentang pasir
ada yang berpuisi tentang diri
dari pantai puisi mereka pulang
pulang ke kampung-kampung akal
sejahtera diri dan masyarakat:
ada yang pulang membawa angin
ada yang pulang membawa ketam
ada yang pulang membawa ombak
ada yang pulang membawa pasir
ada yang pulang membawa diri
di pantai puisi mereka datang
bermesra berpuisi dan pulang.
14 Disember 2005 
Di Ladang Puisi (i)
Semoga ladang puisi aku ini 
bertumbuhan pohon puisi bukan ilalang 
bersuburan gizi adat bukan gizi seberang 
berhijauan warna diri bukan warna orang 
biar pun tidak rimbun 
harap perdunya tempat anak bermain 
atau musafir berteduh 
atau ilham pujangga 
seperti pohon Bo 
puisi aku tanam kuharap 
berbuah seribu rasa 
selera seribu lidah 
penawar seribu racun 
warisan seribu kurun 
pohon dan buahnya kuharap 
pohon dan buah bangsa.
2006
Kampung Halaman
Sebuah ingatan menggelepar 
di hujung jambatan usia 
rindu maha dalam 
di kamar hidup rumah pengembara 
matahari dan bulan berlalu 
tanpa menoleh menyapa 
kesunyian diri, lapar, 
haus berdahaga 
oh, Tuhan 
jangan Engkau panggili daku 
dalam kepapaan harta.
16 Mac 2006
Tanah Waliullah Darul Naim
Derita bukan musuh di tanah ini 
ia perahu takwa. Dengan perahu itu 
mereka menyusuri sungai hayat 
pulang ke Taman Firdaus 
di tanah ini mereka tanam 
mereka tanam pohon jati diri 
pohon penahan terjahan ribut 
ribut liar dan ganas 
ribut menyerang seri hijau 
alam keredaan-Mu 
dan jutaan bunga-bunga 
segar mekar dipagari 
adat dan Wahyu suci 
memang kemiskinan bermaharajalela di tanah ini 
tapi tak seorang pun kepapaan jiwa 
para tamu dimesrai seluruh ikhlas 
teh dan biskut pagi 
lazat mencecah ke senja hari 
derita bukan musuh di tanah ini 
ia perahu takwa. Dengan perahu itu 
mereka berkayuh menyusuri sungai hayat 
pulang ke Taman Firdaus. 
18 Mei 2006
Betapa dalam Hitam Putih Imaginasi
Dalam diri 
kita bisa ke bulan atau ke matahari 
memetik anggur di Taman Firdausi 
segalanya tiada apa-apa 
tidak gayat atau panas 
tidak juga terlarangkan hukum
semuanya betapa dalam 
warna-warni imaginasi
di luar diri 
betapa dalam hitam putih imaginasi
ke bulan kita atau ke matahari 
ke langit kita atau ke bumi 
selamat perjalanan pada  
hukum amanah Allah 
putih kemesraan pada  
adat pusaka bangsa. 
26 Mei 2006
Telaga
Telaga ini walaupun di kelilingi rumput 
air bolos dari mata tanah 
nikmatnya tidak tertanding 
air mengalir dari sungai ke rumah 
dari paip ke kerongkong kita 
zat air dibajai rumput dan selut 
disejukkan tanah dihangatkan matahari 
bebas daripada fiil klorin dan hasad besi 
juga senyum bil kapitalis 
pernah berkali aku dipeluk telaga 
tali bercerai timba 
ia pengalaman amat menggurukan 
menggarisi kebijaksanaan tindak 
kini anak-anakku membesar jauh 
jauh dari telaga dan nakal timba 
air mengalir dari sungai ke rumah
mengalir dari paip ke kerongkong
aku menjadi nenek pusaka
berdongeng telaga dan upih timba
bahawa ia teknologi bangsa
sekali gus guru jiwa
yang mendewasakan ayah
yang mensejahterakan anak.
15 Disember 2006 
SETELAH SEKIAN TAHUN KITA MERDEKA
Setelah Sekian Tahun Kita Merdeka
Setelah sekian tahun kita merdeka 
tanpa dendam dan air mata 
kita harus menjadi seorang lelaki 
yang dirinya adalah seorang lelaki 
tahu ke mana arah langkah dan gerak 
tahu zat dan sifat diri 
menyambar bagai kilat di langit 
membelah bagai gempa di bumi 
menghadapi cabaran 
bergolek atau melayang 
di luar atau di dalam 
kita harus menjadi lelaki berani 
yang tahu keberaniannya 
mengembalikan mercu bangsa 
ke dalam piala masa 
yang tahu luka bangsanya 
pintar dan bijaksana 
mengatur langkah dan gerak 
tanpa tenggelam dalam keagungan silam 
tahu zat dan sifat alam 
zat dan sifat Tuhan 
tanpa tersesat di dalam diri 
dan keagungan dahulu 
bagaimanakah mengembalikannya?  
Kita telah tempuh 
badai dan ribut, duri dan api 
setelah sekian tahun merdeka 
meninggalkan hutan sengsara 
kita melangkah ke kuala bahagia 
kita tidak seharusnya menjadi seekor arnab 
yang pantas berlari tetapi 
tewas oleh keagungan diri 
bagaimanakah kita harus menjadi 
seekor kura-kura 
yang walaupun lambat tetapi 
memenangi perlumbaan 
kerana zat dan sifat diri 
zat dan sifat Ilahi 
kita telah tinggalkan sejarah luka 
setelah sekian tahun kita merdeka 
kita harus terus merdeka 
setelah sekian usaha 
melepaskan ikatan penjajahan 
yang meragut hak dan kewajaran 
kita harus bangkit menentang iblis dan syaitan 
yang tidak pernah puas mengasingkan kita 
tanpa dendam dan benci generasi 
kerana zaman kita 
kitalah yang mewarnakannya 
alam telah lama menganugerahkan rahmat-Nya 
menganugerahkan rahmat kepada kita 
dari bumi yang tandus berkilauan emasnya 
dari laut yang sempit berseri minyaknya 
bukit dan teluk menawan hati 
setelah sekian tahun kita merdeka 
kita tidak seharusnya berbalah cekah 
tetapi, 
bagaimanakah menggunakan pengalaman silam 
agar rahmat itu tidak mencelakakan 
diri dan keluarga 
adalah sebenarnya yang harus 
kita fikirkan 
setelah sekian tahun kita merdeka 
setelah sekian tahun kita bersama 
merasa pahit dan manis hidup berkeluarga 
kita harus menjadi seorang lelaki berani 
melangkah dengan zat dan sifat Tuhan 
dengan zat dan sifat diri 
sambil mengekalkan keagungan
agama dan bangsa, keluarga dan negara 
kerana zaman kita 
kitalah yang mewarnakannya 
tanpa dendam dan air mata 
generasi. 
Disember 1988
Sajak Nyawa kepada Manusia
Siapakah yang kauperkosa? 
tanya nyawa 
seorang alam atau seorang 
aku - si jelaga putih 
menyusup ke dalam paru-paru udara 
adalah ibu barah yang mesra 
terpercik dari 
terjahan nafsumu 
kini udara itulah  
terpaksa aku buru 
siapakah yang kauperkosa? 
tanya nyawa 
wajahnya sedikit berang 
seorang alam atau 
seorang aku - si lelaki 
yang mengunyah udara itu 
kini bekerja keras
menggerakkan jentera 
di dalam tubuhmu 
siapakah yang kauperkosa? 
tanya nyawa 
siapakah kalau tidak 
dirimu sendiri. 
1991                                 
Sajak Rimba kepada Segerombolan Manusia
“Bukankah kalian pernah merampas hak kami? ” kata rimba. 
“Membunuh hijau bening yang kami tanam memancung arus 
yang kami hantar ke negeri Laut. Bukankah kalian yang 
menyergah, menyerbu dan mengoyak warga kami di tanah itu?“ 
kata rimba lagi. “Bukankah kalian pernah berkata kepada kami, 
kamu adalah musuh terkini pembangunan kami, bukankah kalian ...” 
(tak seorang pun menjawab kata-kata rimba itu sebaliknya 
mereka asyik berpesta di dalam kolam di antara dua bukit) 
“Bukankah kalian pernah meludahi kami?“ kata rimba. Suaranya 
sedikit keras. “Dan, jijik melihat wajah hitam lumpur kami. 
Bukankah kalian benci kepada unggas kami yang menggesek biola 
dan meniup seruling mengiringi keberangkatan matahari?” kata 
rimba lagi. “Bukankah kalian yang berkata kepada kami, berada di 
kampung rimba sering terperangkap intelektual, bukankah kalian ...” 
(Segerombolan manusia itu tetap juga diam dalam kolam 
di antara dua bukit mereka asyik berkejar-kejaran) 
“Betapa anehnya segerombolan manusia itu,” kata rimba. 
“Lihat, tidakkah mereka berasa jijik menjilat-jilat kembali kata 
yang pernah diludahkan?” kata rimba itu lagi. 
(Namun segerombolan manusia itu tetap juga diam. 
Kini, mereka memacak tiang di antara dua bukit itu) 
“Oh, betapa hipokritnya manusia!” kata rimba. 
1991
Sajak Segerombolan Manusia kepada Rimba
“Pecahkan kesal dan ambil kecewamu itu lontarkan ke 
dalam lubuk dunia. Jangan kau simpan menjadi gunung 
dendam” kata manusia itu. “Letupnya menghambur lava 
derhaka ke bumi ke ruang udara larangan-Nya” kata 
manusia itu lagi. “Di sini di jagat raya ini kalian mesrailah 
diri kalian seperti aku menyempurnakan wujudku, 
kalian menyempurnakan wujud kalian.” 
(Malaikat diam mendengarnya sambil mencatat 
makna suara manusia itu) 
“Benar, di sini aku membonceng kalian” kata manusia itu. 
“Tetapi, apakah selamanya aku di belakang kalian? 
Ah, sesungguhnya demikian bukan akuku yang melihat 
kalian dengan seluruh fikir dan nafsu” kata manusia itu lagi. 
“Lihat, lihat kelip-kelip di puncak sana. Seperti kalian mendaki 
teman mencari zat matahari aku mendaki kalian mencari 
nikmat kelip-kelip.”  
(Malaikat diam mendengarnya sambil mencatat 
makna suara manusia itu) 
“Ya, rimba. Telah Malaikat bersabda peruntusan aku ini akan 
memusnahkan kalian seadanya. Ingat, zat kalian tidak akan 
terbongkar oleh halusnya tangan si Malaikat” kata manusia itu 
lagi. “Ya, ya. Aku tahu apabila kalian aku musnah akulah itu 
yang aku musnahkan” kata manusia lagi. “Tetapi rimba, 
siapakah maha berani menjawat khalifah memimpin warga 
darulfana ini? Siapakah kalau tidak manusia itu sendiri? 
(Malaikat diam mendengarnya sambil mencatat 
makna suara manusia itu) 
“Rimba, antara aku dengan si Malaikat itu siapakah yang 
memesrai kalian?” kata manusia itu. “Aku, atau si Malaikat 
yang tidak bernafsu itu?” 
1991
Sajak Segerombolan Manusia kepada Manusia Lain
Kebebasan itu kata kamus ialah kemerdekaan 
dia mutiara hidup yang tidak ternilaikan 
yang memercik seri dan wangi azali  
selagi kita tidak terbabas daripada rel Ilahi 
dialah yang memberi kepada kita 
makna piala daripada berjuta piala kita miliki 
dialah yang memberi kepada kita 
makna suara daripada berjuta suara kita miliki 
dialah yang memberi kepada kita 
makna sejahtera daripada berjuta sejahtera kita miliki 
dialah yang memberi kepada kita 
makna bahagia daripada berjuta bahagia kita miliki 
dialah yang memberi kepada kita 
makna hidup daripada berlingkaran hidup kita lalui 
sering kali dia yang kita cintai 
tinggal di dalam diri sendiri 
sering kali dia yang kita cari 
terlindung oleh mata sendiri 
kebebasan itu kata kamus ialah kemerdekaan 
kemerdekaan itu ialah bebas daripada gangguan 
merdekakan segar tanah ini daripada nafsu kita 
merdekakan suci udara ini daripada akal kita 
merdekakan jernih sungai ini daripada keruh kita 
merdekakan biru laut ini daripada merah kita 
merdekakan riang rimba ini daripada suara kita 
merdekakan hidup nyawa ini daripada tangan kita 
hari ini nyahkan diri kita 
daripada bisikan halus mesra 
betapa pun manis 
ia mencekik sejahtera kita!
Pidato Umum di Dataran Merdeka
Lautan sejarah kita adalah lautan maha saujana. Lautan 
menyimpan kisah silam tidak pernah bercetak tentang 
orang tua-tua kita menepis tikaman angin dan sergahan ribut 
terakam dalam lumpur dan karangan, lumut dan ampaian, 
keris dan kenangan: 
kisah Portugis tak cukup rempah 
kisah Belanda tak cukup tanah 
kisah Inggeris tak cukup timah 
kisah keris tak cukup darah! 
mari kita analisa lolongan silam di makmal inkuiri, kita cari erti 
segar dari makna sejahtera; kita petik seri zat dari pohon bahagia. 
Ini rumah kita tumpangi jangan esok menumpang lagi. Setelah 
empat ratus empat puluh enam tahun menderita di bumi pusaka: 
siang menunggu harapan, malam menanggung bimbang:
bimbangkan pemuda di mana kuburnya? 
bimbangkan dara siapa pencabulnya? 
bimbangkan kuasa siapa pembelotnya? 
bimbangkan darah siapa penghisapnya! 
hari ini mari kita susur sejarah luka bangsa kita dan memetik 
aduh orang tua-tua kita. Hari ini mari kita bina visi dari ramuan 
milik sendiri, kerana cita rasa kita kitalah yang meramuinya: 
visi mengembalikan permai yang hilang 
visi mengembalikan bangsa kecundang 
visi mengembalikan nilai persaudaraan 
visi mengembalikan negara disegan 
anak-anak generasi, selamilah lautan sejarah kita tanpa ideologi 
dan warna bangsa. Dari laut sejarah dari batu-batu luka kita bina 
generasi berdaulat, generasi bertuankan kitalah tuannya. 
Generasi besar keagungan betapa kecil diri kita: 
kecil itu bukan bererti lemah 
kecil itu bukan bererti mengalah 
kecil itu bukan bererti di bawah 
kecil itu bukan bererti penjunjung perintah 
setelah sekian aduh kita merasa, mari kita hidup tanpa racun patriot 
dan scud. Hidup di bawah bumbung harmoni berhijauan mesra. 
Hidup tanpa tertipu nafsu atau fikiran bijak meski di mana pun 
kita berada: 
di dalam PBB di dalam COGHM di dalam G-15 
di dalam ASEAN di dalam politik dunia 
di dalam ekonomi antarabangsa: kita bersuara 
dari suara milik kita 
anak-anak generasi, telah sekian wira kita berpergian, kita 
masih punya seorang lelaki. Lelaki yang menuntut kita 
menyempurnakan tugas bersamanya. Lelaki peraih gelar wira 
dunia ketiga adalah bapa pemodenan kita yang memberi 
kejantanannya kepada rakyat jelata. Dia adalah lelaki kecil yang 
besar visinya: kepada agama kepada bangsa dan kepada 
       N E G A R A   M A L A Y S I A.
Malang Seorang Penyair 
(Mengenang Hamid Jabar )
sebagai penyair ternama 
tak mungkin kau mengenali aku 
aku mengenali lebih daripada fizikmu 
yang lembut tegas yang jauh dekat 
engkau tak pernah berkompromi 
dengan masalah bangsa
Sebagai penyair ternama 
aku berterima kasih dapat bermesra
dengan Wajah Kita 
engkau dengan keminangkabauan engkau 
aku dengan kemelayuan aku 
engkau dengan Indonesia yang rambu-rambu 
aku dengan Malaysia yang sipu-sipu 
mempertemukan kita di Pos Kota 
antara santai sajak-sajakku 
dan serius bicaramu 
bersijingkat mencari 
kearifan diri 
bersijingkat membina 
kebijakan sajak
seorang penyair ternama 
membangunkan negara dengan sajak 
membangunkan sajak dengan teater 
aku temui tersipu malu 
menutup usia di Memori Kompas 
anehnya, seorang Ronald Reagan 
tak pernah jadi presiden Indonesia 
tak pernah menulis sajak Indonesia 
begitu megah begitu gagah
menutup usia di head line Kompas
dan digelar pahlawan 
disanjung-sanjung dipuja-puja 
lebih daripada khidmat seorang penyair 
yang hidupnya bertahun-tahun
berjuang membangunkan Indonesia
di tanah rantau ini 
air mata kesalku menitis diterjah berita
seorang penyair ternama dan nasionalis bangsa
dimakamkan usia di pinggir tanah berita
oleh jurnalis yang dibangunkannya.
5 Jun 2004                         
Lelaki Terengganu
Kalau anda mencari anarkisme 
dalam rimba pascamodenisme 
ini dia saudara Marzuki Ali 
atau sebenarnya 
dia Ali Azam bin Awang 
anak jati Kemaman 
lahir tidak bersulamkan 
guruh dari mulut langit 
kilat dari petir angin 
tidak juga ada 
nyanyian para biduanda 
atau istiadat memijak 
pasir Makkah 
besar bergerak lancar 
dewasa memilih lelaki rakyat 
membentuk diri tidak takut 
atau gerun pada gigi besi 
betapa seribu api menerkam 
dia tidak gentar kepanasan 
seribu pekak mendalang 
dia halau dan menyumbatnya 
dengan suara-suara rakyat 
kelaparan 
hingga pekak tidak menjawati 
pekak selamanya 
si tolol berwajah besi itu 
mengikat kejap pada kerusi kuasa 
dia mengungkaikannya 
seperti pintaan arus perdana 
ingin melihat kemajuan bangsa 
dia berusaha keras mendaulatkan rakyat. 
pejuang rakyat pascamodenisme ini 
dia saudara Marzuki Ali 
alias Ali Azam bin Awang 
sepanjang dewasa 
dia berjalan meredah Sabah 
menjerit memekik melolong 
berjalan meredah Indonesia 
menjerit memekik melolong 
berjalan meredah Terengganu 
menjerit memekik melolong 
berjalan meredah Brunei 
menjerit memekik melolong 
berjalan meredah IPT 
menjerit memekik melolong 
berjalan meredah semenanjung 
menjerit memekik melolong 
dengan Asyik Kinabalu 
menjerit memekik melolong 
dengan Teater Halaman 
menjerit memekik melolong 
dengan Asyik Terengganu 
menjerit memekik melolong 
di atas-atas angin 
menjerit memekik melolong 
di bawah-bawah angin 
menjerit memekik melolong 
menjerit memekik melolong 
menjerit memekik melolong 
KEMBALIKAN BIDONG PADAKU! 
JENAGOR! JENAGOR! JENAGOR! 
dia menjerit memekik melolong 
menjerit memekik melolong 
menjerit memekik melolong 
ya, 
dia saudara Marzuki Ali 
menjerit memekik melolong 
di mana-mana 
dia menjerit memekik melolong 
belangsungkawa Jenagor 
lemas dalam Tasik Kenyir 
sekeras suara dia mohon 
kembalikan Bidong 
yang terlepas kuasa 
hidup menjadi pulau puaka 
menyedut darah rakyat 
dengan straw kehormat PBB 
kini Bidongnya telah kembali 
menjadi sumber rezeki negeri 
Marzuki Ali alias Ali Azam Bin Awang 
menyusur nasib pejuang terbilang 
dia tidak disenangi 
kelantangan suaranya menggugat 
seribu mata syaitan 
akhirnya seperti bahasa 
dia hidup di dalam mati 
kerana dia diingini mati 
untuk nanti dia dinobatkan 
pada jasa menegak 
warisan rakyat. 
1 November 1995 
Lelaki Pertama Membuka Sangkar Derita Kita
Lelaki pertama membuka sangkar derita kita 
pernah mudik menyongsong arus sungai hidup 
betapa bergerigis dia hadapi dengan tenang 
merempuh jeram, sembilu air dan licin batu 
memberi wira kepada kaum murba 
dan membuang jauh Istana Kedah yang sejahtera 
bertualang di laut api dengan perahu lilin 
meredah gelora kata dan debur senjata 
di muara kota London 
lelaki pertama membuka sangkar derita kita 
bersilat lidah di meja perundingan 
bersama Dato’ Abdul Razak Hussein, H. S. Lee, 
Dr. Ismail Abdul Rahman, Datuk Panglima Bukit Gantang, 
Abdul Aziz Majid, Dato’ Mohd Seth 
dan Dato’ Nik Ahmad Kamil 
mencabut satu persatu duri masalah 
hingga terbentuk Perjanjian Merdeka
Lelaki pertama membuka sangkar derita kita 
adalah lelaki yang menggembalikan hak dan kewajaran 
ke tempat yang sewajarnya, 
lelaki yang membebaskan generasi 
daripada rantai pertuanan British 
lelaki yang memeranjatkan Ratu Elizabeth 
dan sekalian pemimpin dunia 
adalah lelaki yang mewarna alam 
dan warisan dunia sebelah sini.
Setelah tiga puluh tiga tahun kita merdeka 
lelaki pertama membuka sangkar derita kita 
sekali lagi menggegarkan dunia 
memercik duka nestapa rakyat 
sewaktu krisis teluk menggelegak hangat 
seorang lelaki kita dibawa pergi 
dibawa pergi ke alam  yang menjanjikan 
sejahtera daripada seribu sejahtera 
ke alam terakhir seorang lelaki kita.
Hari pada enam Disember, hari terakhir kita 
bersama lelaki pertama membuka sangkar derita kita
empat ratus empat puluh enam tahun 
kita hidup dalam sangkar derita 
adalah hari giliran kita 
menyempurnakan amanah bangsa 
yang lebih sempurna
daripada seorang lelaki kita
menyempurnakannya. 
1997                         
Sajak Rumput kepada Manusia
(Tuan khalifah, 
besar makhluk pada sifat 
rahmat makhluk pada zat) 
makhluk kecil merayapi luas bumi 
dengan kaki berserabut 
dengan kepala lembut 
dengan tangan tak berjari 
dengan akar zat azali 
merayap menjinak liar bumi 
mengikat kejap nafsu tanah 
akulah itu; 
hijau yang tumbuh pada matamu 
lapang yang tumbuh pada dadamu 
daging yang tumbuh pada tulangmu 
kulit yang tumbuh pada isimu 
kudrat yang tumbuh pada uratmu 
suara yang tumbuh pada  lidahmu 
bisik yang tumbuh pada telingamu 
mimpi yang tumbuh pada ranjangmu 
ilham yang tumbuh pada mindamu 
pantas yang tumbuh pada gerakmu 
jawab yang tumbuh pada tanyamu 
air yang tumbuh ada pundimu 
jiwa yang tumbuh pada kalbumu 
silat yang tumbuh pada senyummu 
ibarat yang tumbuh pada kiasmu 
orang yang tumbuh pada budimu 
itulah aku 
makhluk kecil merayapi luas bumi 
dengan kaki berserabut 
dengan kepala lembut 
dengan tangan tak berjari 
dengan akar zat azali 
merayap menjinak liar bumi 
mengikat kejap nafsu tanah 
betapa sesekali; 
pada seberkas lalaimu kuberikan Pos Dipang 
pada selonggok tamakmu kuberikan silau mata 
pada selingkar nafsumu kuberikan Ribut Greg 
pada segulung riakmu kuberikan kilat banjir 
jinak air pada akar mengikat tanah 
hijau akar pada fikir membaja tunas 
(Tuan khalifah, 
kecil rumput pada sifat 
besar rumput pada zat) 
13 Mac 1997
Maafkan Saya
Maafkan saya. ampunkan saya, Tuhan, 
pada pilihan dia tokoh nasionalis agama dan bangsa 
memberi dengan hormat mengambil dengan syukur 
bagai pohon yang tumbuh di padang hari 
di perdunya orang-orang kelelahan berteduh 
di dahannya kanak-kanak keriangan bergantung 
di rantingnya buah-buah merdeka kemerahan 
dia pohon pada pagi burung berkicauan 
dia pohon pada petang unggas berkejaran 
memetik nikmat 
rupa-rupanya dia bukan pohon kepercayaan
dia Tun Mutahir bendehara kerajaan silam 
musuh Tok Janggut, Mat Kilau, Bahaman 
protagonis Syed Syeikh al-Hadi 
dia tokoh korporat pengusaha kilang fitnah 
pemilik kandang lintah dan penghasut rusuhan 
dia wira selamanya penderhaka 
menyeru mengubah kitab Allah 
dia wira selamanya penderhaka 
menghina nabi dan ulama 
dia wira selamanya penderhaka 
mencakar kesopanan adat 
dia wira selamanya penderhaka 
memancung leher bangsa 
dia wira selamanya penderhaka 
hancur, hancur, hancur bangsa 
oleh tangan kuasanya 
maafkan saya. maafkan saya, tuan, 
pada pilihan dia tokoh nasionalis sajak saya 
di mana-mana tuan mendengarnya adalah kini 
dia patung lagenda pembangunan 
kerana dia bukan lagi tokoh pemidato 
bukan juga wira pidatonya 
dia kilang fitnah pemusnah bangsa 
pada tokoh bergelar mahkota itu, tuan 
tukar kepada wira rakyat 
kerana wira sesungguhnya satu 
wira pangkal pada hujung 
wira awal pada akhir. 
Tuan,
siapapun dia dari lembah tersorot 
wira rakyat pada katanya kata rakyat 
wira rakyat pada rasanya rasa rakyat 
wira rakyat pada jarinya jari rakyat 
wira rakyat pada mindanya minda rakyat 
rakyat kepada agama kepada adat 
rakyat kepada bangsa kepada negara 
di mana-mana, di mana-mana pun 
seorang wira adalah wira
wira mendokong seribu rakyat 
kerana wira sebenarnya adalah rakyat 
wira sakral lagi mulia 
wira yang tidak mati-mati 
maafkan saya. maafkan saya. 
pada pilihan itu
Tuhan, ampunkan saya. 
24 Oktober 1998
Berkata Paderi Manauel Musalam,  
Ketua Gereja Latin, Gaza, Palestin
Tuan Presiden Amerika, 
negara banduan Britain 
tahniah kerana tuan dapat merampas 
negara Red Indian 
menukarkan hakmilik tanah 
dari Appachee kepada Amerika 
kekal berkembang biak bak 
kangkung menyusurkan pucuk 
ke tanah Balkan 
ke Asia Tenggara 
Tuan Presiden Amerika, 
negara banduan Britain 
tahniah kerana dapat menukarkan 
imej banduan kepada polis  
hingga tuan menguasai dunia 
dan digelar polis dunia 
tetapi seperti banduan tuan adalah 
polis jahat dan kejam 
tuan menghalalkan kesalahan 
kerana kesalahan itu menguntungkan Amerika 
tuan mengharamkan kebenaran 
walau tenyata benar 
kerana kebenaran itu merugikan Amerika 
Tuan Presiden Amerika, 
negara polis dunia 
kami kagum dengan kebijaksanaan tuan 
memperbudakkan Britain – presiden dan 
Ratu Britain menggeletar ketakutan 
pun negara-negara Arab dan Asia Tenggara 
apabila tuan menjeling 
mereka bergegas berlari mengangkat tangan 
menyokong Resolusi 678 – mengganas di Iraq 
di Afghanistan, 
di bumi Palestin tuan mengganas 
hingga hancur gunung dan ganangnya 
nyawa kecil dan nyawa besar bergelimpangan 
di bawah batu di celah runtuhan bangunan 
Tuan Presiden Amerika 
apabila dua bangunan tuan runtuh 
tuan menjerit memekik melolong 
tuan ajak pemimpin-pemimpin dunia 
memburu pengganas hingga ke lubang cacing 
tetapi hingga kini tiada tuan temui 
tanda dan bukti keganasan orang lain 
kecuali tanda dan bukti keganasan 
tuan presiden sendiri 
tuan tuduh Osama ben Laden 
pengganas terbesar dunia 
tuan buru dia hingga hancur Afghanistan 
tuan desak Arab jahil, Pakistan tamak 
dan Filipina songsang 
memburu pengganas musuh politik 
sedang di tanah Balkan 
tuan mengganas dan mengganas 
dan membiarkan Yahudi mengganas 
tuan yang menjadi polis dunia
memburu pengganas nasionalis keamananan 
aneh, tuan sendiri menjadi pegganas 
di Libya di Sudan di Iraq di Afghanistan 
tuan mengganas dan mengganas 
di tanah air saya di bumi Palestin 
tuan hantar pengganas Sharon 
membunuh al-Quran dan Injil 
menghancurkan masjid dan gereja 
hingga kami ketakutan 
benar, tuan dan sekutu tuan penganut Jesus 
tetapi Tuhan kristian tuan tidak sama 
dengan Tuhan Kristian saya 
walau tuan mendakwa beragama Kristian 
Kristian tuan adalah Kristian syaitan 
Kristian jijik, hina dan pengecut 
Kristian melanggari ajaran Jesus! 
Tuan Presiden Amerika 
tidakkah merampas hakmilik orang 
menyerang atau membunuh orang 
adalah pengganas? 
ah, saudara! 
apa diharapkan pada waris banduan 
seorang presiden pun dia berdarah banduan 
dan banduan adalah tetap sepertinya banduan 
ganas dan kejam 
ganas dan kejam.
2 Mei 2001                         
Tanah Airku Merdeka
Seorang warga seperti aku tak pernah pikul 
senjata – keris, tombak, lawi atau golok  --
jauh daripada senapang, pistol atau montal 
tak pernah redah hutan buru penjenayah 
atau berjaga malam 
apakah harus kutulis tentang merdeka 
melihat Ogos menjulang panji-panji kecintaan 
tentera pulang menjunjung senapang 
warna-warni rakyat merai kemenangan 
akhbar berkisah sejarah neonostalgia 
tentang pejuang dan perjuangan 
mereka tak aku kenal wajah atau visi  
barangkali inilah kemerdekaan 
para pejabat menutup pintu pada kaki setia 
siang menonton pesta perarakan tentera
malam menyaksi konsert di ambang merdeka
sebelum bersorak-menjerit-menyergah 
jam yang tak tahu apa-apa 
kerana kita teruja dengan kemenangan merdeka 
betapa tak pernah dijajah merasai pahit penjajahan 
nenek tetap berdongeng kisah pengalaman
tentang biadap Portugis mencuri rempah
tentang tamak Belanda mencuri tanah
tentang lintah British mencuri timah
tentang pedang Jepun mencuri kepala
aku rasa sangat hairan bukan kerana takut
tetapi kerana mereka kini kawan-kawanku,
apakah benar dongengan nenek
kerana setiap kali menatap Jalur Gemilang
aku terkenangkan bendera Amerika
demikian seorang aku pada tanggal merdeka 
sebelum pulang dan esok membaca akhbar 
tentang pemimpin saling tuduh-menuduh 
-- si A tak pandai memerintah 
tentang pemimpin saling fitnah memfitnah 
-- si B mencuri balak 
tentang pemimpin saling hasut mendesak 
-- tangkap si anu itu 
sebelum lenyap dalam dakapan kekasih 
atau sibuk menguruskan perniagaan keluarga
seorang warga seperti aku 
apakah harus kutulis tentang merdeka
di kelilingku manusia bercakaran rebut kuasa
hingga kesopanan bangsa terpasung tingkah, 
dan aku ini apakah tersesat minda  
atau mereka itu warisan penjajah?
7 Mei 2005 
Khidmat Bahasaku
Telah lama bahasaku berkhidmat 
dari Tun Sri Lanang bahasaku pena minda
mencanai merakam sejarah kemajuan bangsa
dari Sultan Ternate bahasaku menjambatani negara
berniaga dari Mama Portugis ke Pulau Ryukyu
di tanah merdeka bahasaku tali perpaduan 
mengikat kejap warga dari empat penjuru alam
inilah bahasaku, 
liuk lenggoknya mesra penutur
pada Cina berkata Melayukecinaan
pada India berkata Melayukeindiaan
pada Inggeris berkata Melayukeinggerisan
tak tersesat jalan pada pemahaman
tak terkandas niat pada kehajatan
tak terhakis maksud pada kesampaian
inilah bahasaku
bahasa mencanai minda menggerak usaha
di bidang niaga bahasaku madah
‘alah membeli menang memakai’
di bidang diplomatik bahasaku pesan
‘akal tak sekali datang, runding tak sekali tiba’
di bidang perubatan bahasaku rawat
‘bagai ayam dimakan tungau’
di bidang fizik bahasaku tafsir
‘bagai balak terendam’
di bidang biologi bahasaku waris
‘bapa borek anak rintik’
di bidang pertanian bahasaku pedoman
‘di mana batang terguling, di situlah cendawan tumbuh’
di bidang kimia bahasaku uji
‘dikati sama berat, diuji sama merah’
di bidang astronomi bahasaku sindir
‘kuman di seberang lautan tampak,
 gajah di pelupuk mata tiada tampak’
di bidang tentera bahasaku siasah
‘tipu Aceh, gurindam barus’
di bidang logik bahasaku kias
‘rantai besi dimakan bubuk’
di bidang tadbir bahasaku hukum
‘patah kemudi perahu hanyut’
inilah bahasaku
bahasa rumah segala ilmu
telah lama bahasaku berkhidmat
hari ini ia masih berkhidmat
dari generasi ke generasi
bahasaku berkhidmat dan berkhidmat
kerana ia percaya;
“hidup bahasa pada penuturnya”
“maju penutur pada bahasanya”
Berkhidmatlah wahai bahasaku
betapa dibencini para dedatikus
atau dimusuhi korporat rakus
kerana 
“tiada bahasa tiadalah bangsa”
“bahasa mencerminkan bangsa.”
2006
P/s  Dedatikus  =  dedalu  +  politikus  (politikus dedalu)
 
 
